My Self

Zahratil Ainiah

Sejak tiga tahun silam Zahra harus melanjutkan hidup sendiri tanpa ada lagi kasih sayang dari kedua orang tua. Kedua orang tuanya sudah menghadap sang khalik. Kini rumah bantuan tsunami yang dibangun oleh salah satu donator gampoeng Deah Mamplam Leupung itu menjadi saksi bisu perjalanan hidup Zahra.

Zahratil Ainiah, nama lengkapnya. Saban hari sebelum berangkat kuliah di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Zahra harus terlebih dahulu menyiapkan menu untuk sarapan. Tempe sambal goreng menjadi menu yang sering ia masak, tak ada ikan yang menjadi lauk.

Ia menyantap sarapan pagi di ruang dapur. Waktu makan adalah hal yang paling tidak enak bagi dara berusia 21 tahun ini. Betapa tidak, ia sering mengingat kedua orgtuanya kala nasi mulai masuk kedalam mulut.

Tatapan kosonng terlihat jelas dari kedua bola matanya. Saat-saat itulah ia berpikir seandainya saja masih ada mukjizat nabi Isa ia akan meminta untuk menghidupkan kembali kedua orangtuanya.

Usai makan ia bergegas untuk bersiap-siap berangkat kuliah. Diruang kamar yang tidak luas itu ia menyiapakan segalanya. Pada beberapa bagian kamar menjadi tempat curhatan hati Zahra. Ia menempel kertas-kertas kecil berisi tulisan motivasi maupun mimpi-mimpinya yang belum tercapai.

Setelah semuanya siap Zahra kembali ke ruang dapur untuk menyiapkan bekal makan siangnya dikampus nanti. Hal ini dilakukannya untuk menghematkan uang jajan.

Ia brgkat ke kampus Jantoeng Hate Rakyat Aceh dengan motor butut warisan ayahnya. Zahra tidak merasa malu dengan kawan-kawan lain yang memiliki motor lebih bagus darinya. Untuk ke kampus jarak yang harus ditempuh Zahra dari Leupung ke Darusalam lumayan jauh.

Kurang lebih 28 km. Ia harus melewati ruas jalan yang membelah pegunungan hingga sampai ke tempat menimba ilmu. Tak jarang Zahra pergi ke kampus hanya bermodalkan nekat. Ia kadang tak punya uang sepeser pun yang dapat digunakan jika ada keperluan mendadak.

Pernah suatu ketika, Zahra berpikir berhenti kuliah karena merasa tidak Sanggup menjalaninya.

Kadang ada hal yang mmbuat Zahra patah semangat untuk berangkat ke kampus. Sudah jauh-jauh pergi tetapi dosen tak masuk. Bahkan tak ada kabar sebelumnya. Jika hal ini terjadi ia menghabiskan waktu dengan membaca buku di ruang kelas. Dikampus ia juga seorang mahasiswa berprestasi.

Untuk kuliah Zahra mendapatkan beasiswa bidikmisi tetapi uang itu tidak cukup baginya. Agar dapur rumah tetap mengepul dan kuliah tidak berhenti ditengah jalan, Zahra mencari pekerjaan sampingan untuk mncukupi biaya hidupnya.

Disela-sela waktu tak ada jadwal kuliah Zahra memilih menjadi seorang penjahit dikampungnya. Meski belum terlalu mahir dalam urusan jahit menjahit tetapi Zahra sudah dipercaya oleh pemiliknya.

Tak hanya itu, Zahra mengisi waktu luangnya dengan mengajarkan anak-anak les privat dirumah mereka. Tak jarang bocah yang ia ajarkan sering merajuk tak mau belajar. Dengan penuh kesabaran Zahra mencoba membujuk anak-anak tersebut. Anak-anak yang menjadi muridnya sangat dekat dengan Zahra. Usai belajar mengajar mereka bermain dan tertawa bersama. Waktu bersama anak-anak menjadi salah satu  kebahagiaan tersendiri bagi Zahra.

Saat berada dirumah pada pagi atau malam hari, kesedihan kembali menyelimuti Zahra. Rasa kesepian tanpa orangtua kembali datang. Ibunya meninggal 10 tahun silam saat tsunami meluluhlantakkan bumi serambi mekkah. Hingga kini jenazah ibunya tak kunjung ditemukan. Sedangkan ayahnya meninggal pada 2010 silam akibat penyakit yang dideritanya. Sejak saat itulah Zahra merasa hidup sendiri dan sepi.

Zahra tak kuasa membendung air mata kala melihat foto sang ibu. Ia masih menyimpan foto-foto kedua orangtuanya maupun semua saudara-saudaranya. Zahra merupakan anak bungsu dari sembilan bersaudara.

Salah satu kakaknya ada yang menjadi korban saat gelombang dahsyat menyapu Aceh sementara yang lain sudah berumah tangga.
Zahra (tengah) bersama kedua kakaknya


Saat rasa rindu terhadap ibu menyelimuti dirinya Zahra kerap berziarah ke kuburan massal. Disana ia memanjatkan doa meski tidak tau dimana ibunya dikebumikan.
Zahra saat berziarah di kuburan Massal


Sepuluh tahun tsunami sudah berlalu Zahra masih menyimpan sejuta harapan untuk diraih dikemudian hari. Ia berharap ada cahaya yang menyinarinya suatu hari nanti. [ags]

[Feature ini sudah difilmkan di layar youtube. Untuk melihatnya klik https://www.youtube.com/watch?v=Vh1v7hziir8]


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dekorasi Unik Pekan Kreatif Banda Aceh

Mengenal Dayah Gurah Peukan Bada

Masjid Jamik Unsyiah Kebanggaan Mahasiswa