Mengenal Dayah Gurah Peukan Bada

Musalla Dayah Gurah
ANGIN sepoi-sepoi di bawah teriknya matahari langsung terasa saat memasuki perkarangan dayah yang terletak di kaki gunung kawasan Peukan Bada, Aceh Besar. Berdiri sejak tahun 1988, dayah ini bernama Babussa’adah. Akan tetapi masyarakat setempat kerap menyebutnya Dayah Gurah lantaran berada di Desa Gurah, Kecamatan Peukan Bada.

Dayah tersebut dipimpin Teungku H. Hamdan Mustafa sering disapa Abu Gurah, salah satu ulama kharismatik Aceh. Sebelum tsunami dayah ini terletak di atas tanah waqaf. Setelah gelombang maha dahsyat menyapu wilayah Peukan Bada, kemudian terkumpulnya hasil swadaya santri membeli tanah kembali dan membuat dayah Gurah, berpindah tempat di seberang jalan dengan tujuan dayah Gurah kembali bangkit pada tahun 2005.
Dibawah Balee Pengajian Dayah Gurah
Menuju ke dayah di Gampong Gurah itu harus memasuki ruas jalan kecil berjarak 600 meter dari jalan utama yang melintasi Mapolsek Peukan Bada. Kompleks dayah itu seluas 10.000 meter, terdapat dua unit asrama santri masing-masing 10 kamar, satu musalla, tiga rumah dewan guru, satu dapur umum, satu perpustakaan serta beberapa balai pengajian dan ruang belajar. “Bangunan yang dimiliki dayah merupakan donatur dari PMI Surabaya dan Nahdlatul Ulama,” kata Teungku Ridwan, sekretaris sekaligus dewan guru dayah tersebut saat ditemui, Jumat, 3 Juli 2015.
Rumah Dewan Guru Dayah

Saat ini Dayah Gurah memiliki 35 santri yang menetap di dayah atau mondok, 140 santri mengikuti pengajian malam hari dan semuanya laki-laki. Sedangkan staf dewan guru berjumlah 10 orang. Santri tersebut berasal dari Padang, Takengon, Bireuen, Aceh Selatan, Jambi dan kebanyakan Meulaboh. Abu Gurah adalah salah satu putra Meulaboh yang telah lama menetap di Gurah. “Kami disini bukan tidak menerima santriwati melainkan situasi dan kondisi tidak mendukung, misalnya seperti pagar yang memadai dan bilik santri untuk perempuan, sampai saat ini masih laki-saki saja,” ujar Teungku Ridwan.

Di luar Ramadan dayah ini juga menggelar pengajian malam khusus orangtua gampong setempat yaitu orangtua laki-laki. Sementara orangtua perempuan atau ibu-ibu setiap Sabtu dan Minggu. Selama Ramadan, 35 santri yang menetap/mondok di dayah mengisi kegiatan samadiah setiap selesai tarawih dan tadarus sampai subuh. Sementara pengajian rutin seperti biasanya diliburkan. Dayah tipe C—sesuai status yang diberikan Badan Dayah Aceh—ini adalah dayah bernuansa tradisional dan santri memasak sendiri.

Balai Pengajian
“Sebelum tsunami kami bertipe A, lalu berubah menjadi tipe B, dan tidak tahu apa pertimbangannya mungkin santri semakin berkurang sehingga memperoleh tipe C,” kata Teungku Ridwan. Selain mengaji, santri dayah ini diberikan kebebasan untuk berkebun. Namun santri tidak boleh ke luar tanpa izin terutama malam hari. Sementara siang hari asalkan tidak mengganggu jam pelajaran dibolehkan keluar kompleks dayah, baik belanja maupun bekerja.

“Kita berharap ke depan, Badan Dayah (Aceh) kembali memberi perhatian untuk Dayah Gurah, terutama dalam pengadaan pagar dan bilik (santri) supaya dapat menerima santriwati maupun penambahan rumah dewan guru,” kata Ridwan. [zr]

[Tulisan ini sudah di muat di www.portalsatu.com]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dekorasi Unik Pekan Kreatif Banda Aceh

Masjid Jamik Unsyiah Kebanggaan Mahasiswa