Muammar Ridwan, Remaja Jenius, Penghafal Alquran Dan Cita-Citanya
MATAHARI bersinar garang hari itu. Saya mengayunkan langkah memasuki area masjid Syuhada, Lamgugob, Banda Aceh. Di teras masjid, terlihat sejumlah orang beristirahat sambil menikmati buaian angin. Halaman masjid mulai sepi setelah para jamaah salat zuhur meninggalkan masjid untuk kembali beraktivitas.
Saya mengedarkan pandangan ke berbagai sudut. Mencari-cari sosok yang sudah membuat janji temu dengan saya siang itu. Dia adalah Muammar Ridwan, si remaja ajaib yang hafiz quran dan menguasai 18 bahasa asing. Tak lama kemudian telepon genggam saya berdering. Remaja yang biasa disapa Ridwan itu mengabarkan kalau dirinya sudah berada di masjid.
Muammar Ridwan |
Meski sebelumnya sudah beberapa kali berkomunikasi lewat telepon, tapi baru kali itu saya bertemu langsung dengan Ridwan. Ia sangat bersahaja dan supel. Siang itu Ridwan memakai kemeja kotak-kotak plus peci hitam di kepalanya.
Membuka obrolan siang itu Ridwan menceritakan pengalamannya ketika mengunjungi pengungsi Rohingya di Langsa dua hari sebelumnya. Wajahnya memancarkan raut bahagia. Senyuman terus mengembang di bibirnya. Sesaat kemudian, remaja kelahiran Alue Bilie, Nagan Raya, 25 April 1997 ini mengeluarkan kamera pocket miliknya dari dalam tas. Sambil bercerita ia memperlihatkan foto-foto saat di kamp pengungsi Rohingya. Di dalam kamera juga ada video tentang dirinya ketika berbicara dalam berbagai bahasa yang dikuasinya.
Cerita selanjutnya bergulir ke kemampuan linguistiknya yang luar biasa. Ia berkisah, awal ketertarikanya pada bahasa berawal dari rasa ingin tahunya pada berbagai bahasa di dunia.
“Belajar bahasa mulai dari kelas dua, semester dua saat di Ruhul Islam Anak Bangsa,” kata Ridwan saat berbincang-bincang, Sabtu, 4 Juli 2015 kemarin.
Adapun bahasa yang dikuasainya adalah Bahasa Arab, Inggris, Jepang, Mandarin, Korea, dan Jerman. Selain itu juga Bahasa Belanda, Swedia, Finlandia, Prancis, Italia, Spanyol, dan Portugis serta Bahasa Turki, Bulgaria, Denmark, Rusia dan Thailand.
Ia baru mempelajari tiga bahasa di antaranya Mandarin, Korea dan Thailand. Sedangkan lima lainnya Denmark, Swedia, Portugal, Finlandia, dan Bulgaria tahap pelancaran. “Iya yang sepuluh lainnya Alhamdulillah sedikit-sedikit,” katanya dengan wajah menunduk dan tersenyum. Meskipun ia sudah mampu berbahasa asing lebih dari sepuluh bahasa itu tidak membuatnya besar kepala.
Ridwan menguasai bahasa tersebut dengan mengandalkan metode membaca buku yang dibeli dari hasil memenangkan lomba yang diikutinya dan juga dari uang yang diberikan orangtuanya. Sesekali ia juga memperoleh uang saat warga asing datang ke Aceh. Pernah suatu kali ia berjumpa dengan orang Jerman, Ridwan lantas membawanya keliling ke beberapa tempat wisata di Banda Aceh seperti Museum Tsunami.
“Eh tahu-tahu usai jalan-jalan ia memberikan uang 10 Euro kepada saya,” kata Ridwan sambil menunjukkan uang 10 Euro yang masih utuh itu. Ia sengaja menyimpannya sebagai kenangan. Jika ditukarkan ke rupiah, nominalnya setara dengan Rp 150 ribu.
Pernah juga katanya, ia bertemu dengan orang Italia di Sabang. Ia menyapanya bukan karena ingin menjadi guide, tetapi semata-mata untuk melatih mentalnya. Maklum, selama proses belajar lawan bicaranya hanyalah cermin. Orang Italia tersebut kagum ada warga lokal yang mampu berkomunikasi dengan bahasa negaranya. Ketika itu usia Ridwan belum genap 15 tahun. Usai menghabiskan waktu seharian dengan bule Italia itu, Ridwan pun diberi 150 Euro yang dimasukkan ke saku kemejanya.
Kaget sekaligus gembira dirasakan Ridwan. Selain bisa membantu warga asing yang datang ke Aceh, uang-uang yang ia terima itu bisa ia gunakan untuk membeli buku-buku untuk menunjang pengetahuan bahasanya.
Itu menjadi salah satu alasan dan motivasi ia menekuni bidang bahasa. Ia ingin membantu beban orangtua yang memiliki lima anak serta dapat mengantarkannya ke luar negeri untuk menjemput cita-citanya menjadi menteri luar negeri dan ulama bahasa di Aceh.
Dalam mengelola keuangannya, Ridwan sangat hemat. Ia sering menyisihkan uang jajannya untuk membeli buku. Mengetahui dirinya berasal dari keluarga sederhana, ia tak ingin membuang uangnya dengan membeli barang-barang yang tidak bermanfaat.
Uniknya, Ridwan mempelajari bahasa-bahasa itu tanpa mengikuti kursus khusus atau les. Ia belajar otodidak. Saat masih di sekolah katanya, ia mengelompokkan teman-teman seangkatan menjadi beberapa kelompok bahasa. “Misalnya kelompok A Bahasa Jerman, kelompok B Bahasa Belanda dan lain sebagainya. Jadi nanti di setiap kelompok itu saya harus berbicara bahasa kelompok,” katanya.
Hari itu ia juga sempat mempraktekkan bahasa Perancis saat bercerita tentang orang Perancis yang berada di Aceh. Misalnya key artinya ‘apa’ dan wi bermakna ‘iya’.
Tak hanya pandai di bidang bahasa, Ridwan yang baru saja menamatkan SMA di RIAB Aceh Besar ini juga penghafal Alquran. Ia pernah memperoleh juara pertama saat ikut MTQ Cabang Fahmil Quran Kabupaten Aceh Barat.
Pengidola Nabi Muhammad SAW dan Ibnu Bathuthah ini juga sedang menunggu pengumuman masuk perguruan tinggi yang ia apply ke beberapa negara, yaitu Rusia, Finlandia, Qatar dan Jerman.
“Doakan saja semoga saya lulus di salah satu kampus negara tersebut,” kata anak dari pasangan Hasrul dan Rusmianin ini. Selagi menunggu pengumuman, selama ini ia sedang mengabdi di almamaternya pada MTsN Nurul Falah, Meulaboh.
Di usia yang masih muda, Ridwan telah mencetak sederet prestasi, yaitu sebagai finalis Aceh di tingkat nasional dalam ajang Pertukaran Pelajar ke Amerika Serikat dalam lomba Bina Antar Budaya 2013-2014 lalu. Juara dua Olimpiade Bahasa Perancis, dan juara empat Olimpiade Bahasa Jerman se-Aceh, harapan tiga Tafsir Bahasa Inggris pada MTQ Aceh Besar 2014 serta juara dua nasyid acapella dalam acara Pascal Fajar Harapan tahun 2013.
Selain prestasi yang telah diperolehnya, Ridwan memiliki mimpi dan cita-cita untuk diraih dikemudian hari. Ia ingin menjadi Ulama Bahasa di Aceh, Duta Besar dan menjadi Menteri Luar Negeri.
“Tentunya saya ingin bermanfaat bagi orang banyak serta ke depan saya menargetkan untuk bisa membuat Institut Nuklir di Aceh, Insya Allah. Karena saya di Rusia juga memilih jurusan Teknik Nuklir,” kata anak ketiga dari lima bersaudara ini.
Ridwan yang berasal dari keluarga sederhana ini memiliki prestasi gemilang dan kemampuan yang cemerlang. Ayahnya bekerja sebagai penjual alat bangunan, tetapi sekarang sudah tidak aktif lagi. Laki-laki sebagai tulang punggung keluarga itu sekarang bekerja sebagai karyawan swasta di kebun sawit daerah setempat. Sementara ibunya hanya seorang ibu rumah tangga.
Keluarga Ridwan hanya memiliki satu anak perempuan yaitu kakaknya bernama Hasnina, kakak yang kerap disapa Kak Nina ini akan menamatkan kuliahnya di UIN Ar-Raniry jurusan Tarbiyah English (TEN) sementara adiknya paling kecil masih sekolah di Taman Kanak-Kanak. Tak terasa, suara mengaji di masjid mulai dialunkan pertanda masuk waktu salat asar. Kamipun menyudahi obrolan [zr]
[Tulisan ini sudah dimuat di www.portalsatu.com]
Komentar
Posting Komentar