Sejarah Khanduri Di Aceh Dan Kegemilangan Masa Lalu
ACEH memiliki 154 macam makanan saat masih berbentuk kerajaan. Namun sekarang jumlah menu makanan khas daerah ini menyusut dan tinggal 20 jenis saja. Hal ini disampaikan oleh Ketua Majelis Adat Aceh H Dr Abdurrahman Kaoy dalam diskusi Khanduri Apam di Aceh Culinary Fest 2015 yang digelar oleh Lembaga Peubeudoh Sejarah, Adat dan Budaya Aceh (Peusaba).
H. Dr. Abdurrahman Kaoy |
“Aceh nanggroe kaya akan masakannya. Coba lihat thimpan saja sudah enam macam di Aceh, bhoi dan lain sebagainya. Inilah salah satu aktivitas kita menggali kembali tentang makanan Aceh salah satunya dengan Khanduri Apam yang kita hadiri sekarang,” katanya.
Ia melanjutkan di Aceh hal yang paling mudah ditemui adalah khanduri. Dia mencontohkan seperti khanduri blang ada 12, khanduri laot, khanduri glee, khanduri meugang, khanduri maulid, khanduri peusunat, khanduri perkawinan dan khanduri lainnya.
“Di Aceh paling banyak khanduri, makanya kita harus menjaganya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mempelajari sejarah. Maka dari itu orang yang mau ke Aceh ‘bek yoe, hana payah bloe bu disinoe,” ujar Abdurrahman.
Menurut Abdurrahman, Aceh gabungan dari negara Arab, Cina, Eropa dan Hindia itu benar. Pada tahun 173 H datang satu kapal dari Arab, di dalamnya terdapat 300 ulama, muballigh dan pedagang yang berilmu pengetahuan. Nahkoda kapal yang dipimpin oleh M. Ali Mu’tabar bin Abdul Jabar dimana kapal tersebut berlabuh di Pereulak masa itu.
Saat itu seluruh penumpang kapal singgah di istana Raja Jeumpa di Bireuen. Setiba di sana Raja Jeumpa melihat seorang anak muda yang gagah, cerdas, dan memiliki adab yang sangat tinggi sehingga ia diminta untuk tinggal di Istana Jeumpa untuk membantu dalam bidang administrasi pemerintahan.
Namanya pangeran Salman, cucu Saidina Ali, putra mahkota dari Kerajaan Persia, kerajaan terbesar di dunia, yaitu Persi dan Rum. Setelah Islam berkembang di sana putrinya Raja Jeumpa dinikahkan dengan Saidina Husein yang memiliki lima anak, empat laki-laki dan satu perempuan, dan keempat laki-laki tersebut menjadi pemimpin besar di Aceh. “Nah di situlah asal mula Tuha Peut yang ada di gampong-gampong sekarang,” katanya.
Kemudian Islam berkembang dari Perlak ke Pase lalu ke seluruh penjuru Nusa Tenggara sampai Asia Tenggara. Salah seorang meurah dari Pase membawa Islam ke negeri Cina. Saat itu, kata dia, 70 juta rakyat Cina masuk Islam. Dalam satu riwayat beliau nikah dengan putri Raja Cina dan dimakamkan di Jakarta.
Setelah itu pada 433 H berdiri kerajaan kedua di Pase di bawah Sultan Mahmud yang berkembang sampai ke Banda Aceh, di bawah sultan pertama, yaitu Abdul Aziz Syah yang dilantik hari Jumat 1 Muharam 533 H di Kampung Pande. “Inilah pusat kerajaan pertama untuk Banda Aceh dan Aceh Besar,” ujar Abdurrahman.
Ia mengatakan Abdul Aziz Syah memiliki delapan orang putra dan kedelapannya menjadi raja-raja yang berkembang di seluruh Aceh. Kemudian pada tahun 700 H kerajaan Aceh di Pidie di bawah Sultan Salahuddin Syamson Syah, anaknya Abdul Aziz Syah yang sekarang dimakamkan di Bakoy Banda Aceh.
Pada tahun 881 H beliau diangkat menjadi sultan dan mengumumkan kepada seluruh Aceh dan dunia bahwa Aceh adalah Islam. Adat istiadat, seni budaya, dan peradaban harus sesuai dengan Islam. Sementara yang tidak sesuai harus dimodifikasi, yang tidak bisa modifikasi dilarang dan harus ditinggalkan seperti menyembah patung. “Sejak tahun itulah Aceh resmi diumumkan pada dunia bahwa Aceh adalah Islam,” katanya.
Ia mengatakan contoh adat dan tradisi yang telah dimodifikasi adalah peusijuk yang dulunya mengatakan ‘Hong Chante-Chante Hong Chante-Chante Preuuukkk’ kini menjadi ‘Bismillahirrahmanirrahim beuneu ta’zim ke Rabbana neupubut suroh pejioh teugah yang larang Allah bek ta keurija’. “Preeukkk geusipreuk pade,” katanya.
Selain itu, kata dia, ada juga saat sipreuk ie bungoeng yang dulunya mengatakan ‘Hong Ki Hong Ki Hong ki Preuuuk’ kini menjadi ‘Kru seumangat beuseulamat beumubahgia’. “Nah sekarang hal itu tidak haram lagi di Aceh karena telah menjadi doa,” kata Abdurrahman Kaoy. Begitu juga kala menyuapkan nasi ketan saat peusunteng dengan mengatakan doa yang sama.
Satu lagi tradisi di Aceh, makna dari amplop yang di peureugam kepada orang yang didoakan. Di dalam amplop bukan sedekah, bukan hadiah, dan bukan sogok melainkan iringan doa selamat. Pasalnya, kata dia, selamat tidak hanya sebatas perkataan melainkan perbuatan, ada sejumlah uang yang diisi dalam amplop meskipun sedikit.
Lambang Pintu Aceh |
Kemudian pada 903 H, pemimpin kerajaan selanjutnya di Aceh adalah putra Salahuddin Sultan Johan Ali Ibrahim Mu’ayat Syah. Beliau mempersatukan Aceh dari delapan kerajaan menjadi kerajaan besar. Di antaranya Pidie, Pereulak, Pase, Banda Aceh, dan Aceh Jaya menjadi satu, yaitu Kerajaan Aceh Darussalam.
“Kemudian Sultan Iskandar Muda, menikah dengan Putri Phang lahirlah putrinya Ratu Safiatuddin Syah, tempat yang kita berdiri sekarang ini,” katanya. Iskandar Muda memerintah Aceh selama 30 tahun dan Ratu Safiatuddin Syah selama 36 tahun.
Untuk diketahui zaman dahulu di Aceh terdapat 11 panglima perang dan 19 orang sultanah. Sultanah derajatnya di atas ratu. “Di Aceh ada tiga ketinggian perempuan dalam bidang pemerintahan, yaitu sultanah, ratu dan maharani,” ujarnya. [zr]
[Tulisan ini sudah dimuat di www.portalsatu.com]
Komentar
Posting Komentar