Ibukota yang Sunyi Sepi ~
Untuk foto saja tak ingin saya jepret. Sumber: Saya comot punya LensaAceh. |
2
November 2016 - Tepat pukul 07.00 WIB saya mulai melaju,
maksud hati ingin ke Ibukota yang telah direncanakan sejak kemarin sore. Saat
melewati bundaran Lambaro Aceh Besar suasana Jalan Banda Aceh-Medan mulai
terasa.
Saat melaju saya melihat tak sedikit
kiri kanan jalan terdapat orang-orang yang menunggu angkutan umum. Terus
melaju, satu persatu saya melewati kecamatan-kecamatan yang ada di Aceh Besar.
Seperti Samahani, Sibreh, Indrapuri, Cot Glie dan saya sempat membaca Lampakuk.
Dengan hutan dan rawa-rawa kiri kanan jalan saat melewati daerah-daerah
tersebut, entah mengapa saya masih teringat masa-masa konflik di Aceh. Bayangan
sepintas lalu itu hilang begitu saja saat berkata dalam hati Kota Jantho masih
jauh.
Sebelumnya saya juga pernah melewati
jalan ini. Namun baru kali ini saya ingin ke pusat pemerintahan Aceh Besar dan
berurusan dengan tembok birokrasi pemerintahan di Ibukota. Dalam bayangan kata
ucapan “Selamat Datang di Kota Jantho” segerea bertemu. Namun sayangnya saya masih
harus menelusuri jalan panjang yang dipenuhi truck Hercules pengangkut barang
berat. Tak sedikit pula mobil ber plat merah melaju kencang menuju ke arah yang
sama.
Jujur, saya sedikit tidak suka dengan
jalan daerah ini. Selain kendaraan yang melaju lebih kencang, juga ruas jalan
yang sempit dengan pengkases lintas Banda Aceh-Medan seperti mobil berat-berat,
yaitu Bus dan Truck. Banyak saya temui mobil-mobil besar dan L300 yang melaju
saling nyalip menyalip. Ah, begitu melelahkan, belum lagi dengan ruas jalan
yang terdapat lubang.
Spido motor saya menunjukkan kisaran angka
40-80 kilometer. Bosannya bukan main, karena saya melaju seorang diri. Bayangkan
saja saya gerak dari Leupung, penghabisan wilayah Aceh Besar di bagian Barat
Selatan menuju Kota Jantho. Setelah menghabiskan waktu lebih kurang satu jam,
terdapat rambu-rambu menandakan sebentar lagi akan sampai persimpangan Kota
Jantho.
Sebelah kanan jalan, saya mulai memasuki
Gapura Kota Jantho. Alhamdulillah akhirnya sampai. Dalam hati juga teringat
seorang teman yang mengatakan masuk ke dalam jaraknya juga tidak begitu dekat.
Harap saya lebih kurang 10 menit perjalanan bakalan sampai. Ternyata TIDAK
kawan.
Terus menelusuri jalan lurus yang
terbagi dua arah itu, melewati bukit-bukit, suara-suara burung berkicau.
Sungguh, begitu tentram, sunyi dan sepi. Sesekali ada pengendara lain yang
melewati jalan sebelahnya. Tak jarang saya berkesempatan menikmati jalan
beraspal mulus itu seorang diri. Sungguh dalam satu sisi begitu tidak
mengasyikkan. Bedanya dengan Ibukota provinsi ya ini. Jalan tersebut tak kenal traffic light atau lampu merah, polisi
tidur dan macet (polisinya bangun semua :D). Jika Anda sanggup melaju dengan
kecepatan diatas 100 kilometer silakan. Jalan luas !
Terlalu bosan, tidak tahu kapan sampai
saya mulai pasrah kapan bakal menemukan satu bundaran yang menandakan sudah
mendekati dengan pusat pemerintahan. Akhirnya setelah menyibukkan diri dengan
menikmati alam yang asri saya menjumpai bundaran yang dimaksud.
Ya hamba, selesai satu persoalan, muncul
persoalan lain lagi (umpama leuh bak babah
rimung merumpok babah buya :D) Segala dinas dan seluruh kantor berderet
disini. Saya harus mencari lagi satu persatu mana departemen pemerintahan yang
saya maksud. Belokan lumayan banyak, saya sedikit pusing. Dengan modal banyak
bertanya akhirnya saya menemukannya dan urusannya “selesai”. Sayangnya ada satu
berkas yang lupa saya bawa. Pihak panitia disana meminta saya untuk kembali
lagi dan melengkapi berkasnya. Masya Allah ! Jujur, capek saat pergi saja belum
hilang belum lagi pulang dan balik lagi. TIDAK MUNGKIN !
Mereka pun menanyakan asal saya dari
mana, dengan jelas saya mengatakan dari Leupung, mereka tambah kaget ketika
mengetahui saya mengendara seorang diri kesana. Mereka sedikit berempati dan
akhirnya diberi keringanan saya bisa menitip berkas yang tinggal. Keluar, saya
balik. Ini baru benar-benar SELESAI.
Sekarang persoalan pulang. (tuho jak hana tuho woe:D). Saat jalan
keluar saya sempat memasuki jalan buntu, lagi-lagi dengan modal tidak malu
bertanya saya berhasil keluar ke jalan Banda Aceh-Medan kembali.
Saat pulang, sudah lazimnya jalan pulang
“rasanya” lebih cepat dan dekat dibandingkan saat pergi. Meskipun sama saja. Lumrah,
karena kita tidak meraba-raba akan jalan yang kita tuju, karena barusaja
melewati. Pukul 10.30 WIB saya tiba kembali di Ibukota provinsi. Kalau bisa
jujur, saya lebih menyukai pulang pergi Leupung-Darussalam dibandingkan ke
Jantho hanya sekali. [zr]
Komentar
Posting Komentar