Nunu Husien; Pendiri Komunitas Darah Untuk Aceh
NURJANNAH Husien namanya. Perempuan berkacamata itu akrab dipanggil Nunu. Ia salah seorang perempuan Aceh yang patut diapresiasi. Empatinya yang tinggi terhadap anak-anak penderita thalasemia membuatnya berhasil merangkil anak-anak muda untuk melindungi Aceh dari krisis darah.
Lewat gerakan tersebut, aktivis sosial kelahiran Lhok Kruet, Aceh Jaya, 24 April 1969 ini mendirikan komunitas Darah Untuk Aceh atau DUA.
“Komunitas ini saya dedikasikan untuk almarhumah ibu saya, dalam kesederhanaannya tapi bisa memberi manfaat bagi orang lain. Apa yang saya lakukan bersama teman-teman di Komunitas Darah Untuk Aceh hanya sebatas berkontribusi dengan apa yang saya lihat bertolak belakang dengan apa yang saya alami,” kata Nunu pada Sabtu malam, 3 Oktober 2015.
Nunu mengisahkan, bermula ketika almarhumah ibunya dirawat selama dua bulan di rumah sakit. Karena penyakitnya ibunya harus transfusi darah sampai 10 kantong. Setahun setelah ibunya meninggal dunia, ia pun memilih resign dari pekerjaannya sebagai District Manager di sebuah perusahaan swasta nasional.
Nurjannah (dua dari kanan) saat di Vietnam |
“Minggu pertama masih happy dan tanpa kendala, saya terbebas dari rutinitas yang membosankan tetapi ternyata itu awal dari masalah. Karena saya yang biasanya produktif dan kreatif harus diam di rumah, terus terlintas di benak saya, kalau begini terus saya bisa mati, saya tidak mau mati (tidak produktif) karena saya tidak bekerja secara profesional, pasti ada cara yang lain,” ujarnya.
Dua bulan setelah tidak bekerja lagi, ia teringat pada Yayasan Bumiku Hijau (YABUMI) yang ia dirikan pada 24 April 2009. “Saya rencanakan ini untuk donor darah massal, tetapi saya juga tidak ingin seperti yang lain, donor darah massal hanya pada momen ulang tahun atau event-event tertentu saja, sementara saya ingin ini berkelanjutan. Tapi bagaimana caranya?”
Kegudahannya lantas terjawah. Dengan semangat untuk berbagi kemudahan, terbentuklah DUA yang bekerjasama dengan PMI Kota Banda Aceh. Awalnya DUA bergerak untuk menggalang donor darah untuk memenuhi kebutuhan darah di Unit Donor Darah PMI Kota Banda Aceh.
“Namun, setelah saya bertemu dengan Direktur Unit Donor Darah dr. Ridwan Ibrahim, SpK, di situ saya baru tahu bahwa ada satu kondisi di mana ada orang-orang yang membutuhkan darah rutin demi perpanjangan usia mereka. Mereka itu adalah pasien penyandang thalassemia,” katanya.
Awalnya ia berpikir solusi dari masalah ini mudah dan sederhana. Karena penderita thalassemia yang transfusi darah ke Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin pada April 2012 lalu berkisar 97 orang.
“Berarti donor rutin akan menyelesaikan masalah. Ternyata saya salah, permasalahannya tidak sesederhana yang saya pikirkan. Kebutuhan darah bagi penderita thalassemia sangat banyak, variatif tergantung dari tingkat keparahan dan kadar hemoglobin (hb) dalam darah,” katanya.
Thalassemia, kata Nurjannah, merupakan penyakit di mana sel darah merahnya cepat rusak dan ditandai dengan anemia akut. Kerusakan sel darah merah pada orang normal 120 hari sedangkan pada penderita thalassemia kurang dari itu, bahkan ada yang hanya dua minggu. Penyakit yang belum ditemukan obatnya ini harus rutin transfusi untuk mempertahankan kadar hemoglobin dalam darah penderitanya.
“Saya dan teman-teman relawan masih awam tentang penyakit ini, hanya saja berusaha mencari pendonor yang bersedia mendonor tetap dan rutin untuk penderita thalassemia. Akhirnya dikenal lewat program #10for1thalassemia dengan maksud meringankan beban orang tua yang selalu mengeluh tentang susahnya mendapatkan darah yang berkualitas,” ujar Nurjannah.
Dua hari yang lalu, Nurjannah Husien barusaja pulang dari Hanoi, Vietnam dalam rangka Thalassemia Conference. “Untuk berbagai kesempatan, saya selalu berterimakasih kepada relawan, tim, dan pendonor atas bantuannya dan mau berbagi untuk saudara kita penderita thalassemia yang semula tidak saling kenal menjadi seperti keluarga, semoga Allah yang akan membalasnya,” kata Nunu.[zr]
[Tulisan ini sudah dimuat di www.portalsatu.com]
Komentar
Posting Komentar