Menyimak Kisah Lidya, Gadis Aceh Pengajar Bahasa Melayu di Thailand Selatan

MAULIDIA Adinda namanya. Ia baru saja menamatkan pendidikan sarjananya dan kini tersemat titel Sarjana Ilmu Komunikasi yang diperolehnya dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala. Tak sempat bersantai usai lepas masa kuliah, Maulidia kini sudah menginjakkan kakinya ke Negeri Gajah Putih Thailand. Tepatnya di Pattani, sejak 25 November 2015 lalu. Bukan untuk jalan-jalan melainkan untuk mengajar Bahasa Melayu di sana. Hm... seperti apa ceritanya?

Maulidia Adinda 
Ia melakoni pekerjaan itu di sebuah sekolah yang menjadi bagian dari program sebuah NGO di Pattani yang bekerja sama dengan Aceh Civil Society Task Force (ACSTF) di Aceh.

“NGO di Pattani ini bernama Bunga Raya Group untuk melakukan program pendidikan perdamaian dan menggalakkan penggunaan Bahasa Melayu. Program ini dijalankan selama setengah semester di Taman Didikan Kanak-Kanak (Tadika) untuk siswa kelas tiga sampai enam,” kata Maulidia Adinda saat berbincang melalui aplikasi BBM, Selasa, 12 Januari 2016.

Ia mengatakan, harapannya program ini dapat menjadi model bagi pendidikan perdamaian yang berbasis pemberdayaan masyarakat dan dikuatkan dengan kurikulum standar Islam di Pattani. Serta membiasakan penggunanaan Bahasa Melayu untuk lebih mudah berinteraksi dengan masyarakat Melayu Nusantara.

“Untuk mengokohkan kembali masyarakat Pattani, maka kami melakukan pendekatan budaya lewat pendidikan perdamaian dan Bahasa Melayu,” katanya.

Lebih lanjut, Lidya mengisahkan pendidikan perdamaian diperlukan karena masyarakat Pattani sudah sangat lama hidup dalam konflik. Banyak orang yang tidak tau soal konflik Pattani dengan Kerajaan Siam (Thai).

Kalaupun tau katanya, banyak yang menganggap itu hanyalah persoalan internal Thailand. Thailand menurut cerita Lidya melakukan 'kerja ekstra' untuk menghilangkan identitas Melayu Pattani. Bahkan, pada semua instansi wajib menggunakan Bahasa Thai sebagai bahasa resmi.

“Dengan begitu, secara perlahan Bahasa Melayu menghilang dari tanah Pattani. Maka kami mengambil bagian untuk kembali mengajak masyarakat Pattani tepatnya Thailand Selatan agar lebih fasih berbahasa Melayu untuk melestarikan identitas bangsa,” kata perempuan asal Sigli, Aceh ini.

Di sana Lidya tak sendirian, ia berangkat bersama empat teman lainnya yang ditempatkan di lima provisni yang berbeda di Thailand Selatan. Kata Lidya, masyarakat di Thailand Selatan khususnya Pattani dan Narathiwat menggunakan Bahasa Melayu kampung yang sulit dipahami oleh Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam.

“Orang Indonesia, Brunei Darussalam dan Malaysia menggunakan Bahasa Melayu Tengah. Sedangkan mereka menggunakan Bahasa Melayu Pattani dan bahasa mereka itu juga tidak dipahami oleh tiga negara tadi (Indonesia, Brunai dan Malaysia). Sementara Bahasa Indonesia dipahami oleh Malaysia dan Brunei. Selain Bahasa Melayu Pattani, orang Thailand juga menggunakan Bahasa Thai,” ujar Lidya.

Lidya bersama teman-teman dijadwalkan berada di Thailand sampai akhir Maret atau awal April 2016 mendatang. [zr]

[Tulisan ini sudah dimuat di www.portalsatu.com]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dekorasi Unik Pekan Kreatif Banda Aceh

Mengenal Dayah Gurah Peukan Bada

Masjid Jamik Unsyiah Kebanggaan Mahasiswa