Catatan Kecil di Musim Kemarau



SANG surya saban hari bersinar garang pedih dan ganas. Gerah terkadang membuat kita malas untuk beraktivitas. Musim kemarau melanda Kota Banda Aceh. Tak terkecuali daerah yang berada disekitarnya, yaitu Aceh Besar.

Saat menyinari, matahari seolah marah dalam mengeluarkan energinya. Ditambah angin kencang yang memboyongkan beberapa rumah warga pesisir pantai, baik di Banda Aceh maupun Aceh Besar.
Ketika cuaca seperti ini, hujan begitu dirindukan. Meskipun ketika hujan turun juga ada yang mengeluhnya. Tidak hujan, panas ada saja keluhan dari manusia. Astaghfirullah, semoga orang-orang dalam golongan ini cepat disadarkan untuk segera bersyukur.

Musim kemarau yang melanda wilayah ini hampir sebulan. Tanah kering terbelah bercak retak, pepohonan kering kerontang, rumput-runput ilalang gersang terbawa angin mendayu-dayu seoalah merindukan sang hujan kembali membasahi bumi. Seakan mewakilkan segala rasa, saat ini kehadiran air dan hujan begitu dirindukan.

Air merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Deah Mangga Leupung misal, desa pesisir pantai yang terletak dalam lerekan bukit bernama Glee Judah. Masyarakatnya begitu merindukan sebuah telaga mata air untuk segala aktivitasnya. Air mengalir jernih, banyak, segar hanya sebagai hayalan bagi masyarakat daerah setempat saat ini.

Mesin yang biasa digunakan untuk produksi air daerah tersebut rusak hampir sebulan penuh dan begitu merugikan masyarakat. Sebagian masyarakat yang memiliki keberuntungan terdapat sumur. Untuk memperoleh mata air sulit dikarenakan desa ini terletak dalam pegunungan. Pun bila menggali sumur, tentu yang didapat oleh penggali sumur adalah bongkahan batu yang menghalangkan mata air. (Jika bongkahan berlian oke sedikit).

Masyarakat setempat saat ini pasrah dan percuma mengeluhkan hal yang sama kepada pemimpinnya, karena saban tahun hal yang sama terulang lagi, lagi dan lagi. Tidak ada air. ini masalahnya.

Aneh memang jika dipikirkan dengan kepala sehat. Salah satu daerah pesisir yang diapit oleh lautan luas dan mengalirkan air mata air langsung dari kaki gunung melalui irigasi bisa kehabisan air. Bahkan salah satu desa di kecamatan ini terdapat waduk yang sudah fenomenal bagi wisatawan sebagai tempat wisata pemandian air segar, bersih nan sejuk, Brayeung namanya.

Irigasi brayeung adalah tempat masyarakat Deah Mangga mengosumsi air bersih tapi dengan mesin yang tidak bersahabat dan cuaca garang di Februari membuat masyarakat terpaksa mengangkut air dari sumur-sumur terdekat meskipun kebanyakan letak sumur dengan rumah warga jauh. Tak ada pilihan, juga ada sebagian masyarakat membeli menggunakan mobil air dari luar.

Jangan heran, jika setiap berkumpul warga saat mengangkut air hal yang dibahas adalah masalah mesin rusak dan air. Ntah butuh waktu berapa lama untuk memperbaiki mesin tersebut atau memang sama sekali tak tersentuh oleh tangan yang memperbaiki, wallahua’lam. Jika kondisinya begini, jangan heran juga jika masyarakat mempertanyakan dana desa yang diperoleh oleh tiap desa yang ada di Aceh. Diperuntukkan kemana uang itu? Dalam jumlah yang tidak sedikit tentunya.

Ahh begitu miris, potensinya begitu memukau tetapi saat ini tak bisa dikonsumsi oleh masyarakat. Sehari dua hari mungkin bisa ditoleransi untuk masalah mesin dan air yag tersendat. Namun jika berminggu-minggu apa yang harus dilakukan masyarakat. Harapan satunya-satunya melaksanakan salat istisqa’(salat minta hujan) dan menunggu hujan turun.

Hari berganti hari, fenomena mengangkut air menjadi tradisi baru di sini yang mengingatkan kenangan lama saat menetap di tenda pasca tsunami 2004 silam. Bergantian mengenakan jerigen atau timba yang diangkut dengan becak dan sepeda motor. Kembali rutin, tanpa absen, masyarakat mengangkut air dan mengantri dari sumur-sumur yang terdapat mata air.

Sampai kapan ini akan bertahan? Rata-rata sumur yang selama ini menjadi tempat perolehan air nyaris kering karena semua orang tertuju pada pusat yang sama. Ditambah musim kemarau, angin kecang yang mengeringkan air-air dalam sumur. Belum lagi mati lampu siang dan malam yang membuat semakin gerah dan geram. Masyarakat seakan kembali ke masa lampau hidup tanpa listrik, namun zaman dulu setidaknya ada air.

Jangan mimpi di siang bolong seperti ini akan menikmati sejuknya AC bagi mereka yang punya, karena semua sama rata tergantung listrik. Cukup menikmati AC alam yang begitu mendayu sekalipun menghantam beberapa pohon dan rumah warga yang mengakibatkan mati listrik.

Wah, gerah, sangat ! Untuk menulis ini saja sisa listrik atau energi laptop kemarin yang diperoleh di Ibu Kota Provinsi. Untuk diketahui, daerah yang khas dengan produksi ikan asin ini begitu mati lampu jaringan ikut serta lenyap. Jadi, jika kondisi demikian tak ada pilihan lain, jika tidak hijrah ke ibu kota provinsi untuk memperoleh listrik dan jaringan atau membuka pintu rumah lebar-lebar dan merebahkan badan sepuasnya, hingga bermimpi memperoleh air, listrik dan janringan. Semoga mimpi jadi kenyataan. Semoga ! [zr]

*Tulisan ini hanya coretan dan alternatif menghilangkan suntuk yang tak karuan dalam kondisi seperti di atas. Jika diksi dan bahasa yang digunakan tidak tepat barangkali karena efek gerah.   
  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dekorasi Unik Pekan Kreatif Banda Aceh

Mengenal Dayah Gurah Peukan Bada

Masjid Jamik Unsyiah Kebanggaan Mahasiswa