Kisah Azhar Ilyas, Penggagas Komunitas Mahakarya Songket Aceh
Azhar Ilyas |
ILSA begitu namanya. I Love Songket Aceh (ILSA) ini berdiri sejak September 2015 lalu. ILSA salah satu komunitas sadar budaya dan kerajinan Aceh yang digerakkan oleh Azhar Ilyas sebagai Co Founder. Komunitas ini terbentuk atas dasar kepedulian terhadap kerajinan tenun Aceh yang semakin berkurang peminatnya.
“Hal ini dikarenakan kurangnya informasi dan minat masyarakat dalam menggunakan songket Aceh. Padahal songket Aceh merupakan masterpiece hasil budaya orang Aceh di masa lampau,” kata Azhar Ilyas, penggagas ILSA Kamis, 21 Januari 2016.
Sementara, penggunaan kata I Love tersebut digunakan untuk menarik perhatian masyarakat, terutama kaum muda dalam mempopulerkan kembali songket Aceh sebagai hasil budaya Aceh. Azhar berkisah, menurut sejarah, songket Aceh mempunyai motif yang beragam dan mempunyai nilai sejarah di setiap motif yang ditampilkan dan motif-motif tersebut itulah yang bakal dikenalkan kepada masyarakat supaya menambah kecintaan masyarakat Aceh terhadap songket Aceh.
Dalam menggerakkan komunitas ini, Azhar tak sendirian, ia digandeng oleh pemuda-pemuda hebat Aceh lainnya, seperti Laila Abdul Jalil, Arkeolog yang juga staf ahli Dinas Budaya dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh, Yelly Sustarina, pembuat Colourful Kota Naga di Aceh Selatan, dan Hijrah Saputra Desainer & Owner Piyoh Sabang.
“Saat itu sempat sharing bahas tentang songket Aceh di Gampong Siem Aceh Besar bersama teman-teman tersebut dan Ibu Laila juga memiliki konsen untuk mengangkat kembali tenun songket Aceh dari Gampong Siem yang pernah menjadi mahakarya kerajinan budaya Aceh di masa lalu,” kata mahasiswa Program Magister Manajemen Universitas Syiah Kuala ini.
Menurut Azhar, masa lalu songket Aceh diekspor hingga ke mancanegara. Konon, tenun songket Aceh di Gampong Siem sudah berlangsung turun temurun, lebih kurang lima generasi.
“Saya, Yelly dan bang Hijrah, juga bersama teman-teman Gaminong Blogger sebelumnya juga pernah berkunjung ke Desa Siem untuk melihat langsung atau istilah Saweu Pengrajin ke Desa Siem. Namun saat itu belum berniat untuk mendirikan sebuah komunitas khusus,” kata pria yang hobi menulis ini.
Kendati demikian, niatnya muncul kembali saat pertemuan dengan Laila pada September 2015. Ia mulai tercetus niat menggelar sebuah even seminar yang dipadu dengan peragaan busana tenun songket Aceh. Dengan persiapan singkat selama lima minggu mereka pun menggelar even yang bertajuk Diskusi Gathering Tenun Songket Aceh (DGTSA) 2015.
Saat itu mereka memanfaatkan Aula Museum Rumoh Aceh dengan menghadirkan beberapa pembicara sesuai dengan bidangnya. Seperti Laila Abdul Jalil, Indra Zainun, pengelola Rumoh Teunuen Songket Nyakmu Gampong Siem, Aceh Besar, Iskandarsyah Madjid dari UKM Center FE Unsyiah, Zulfikar Taqiuddin, Dosen Arsitektur Teknik Unsyiah, Julia Safitri, Owner & Fashion Designer Brand Jingga asal Aceh dan Azhar Ilyas mewakili komunitas ILSA.
“Dalam even tersebut kami menampilkan songket Aceh Nyakmu sebagai tenun dari Desa Siem, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar. Namun tidak menutup kemungkinan ke depan tenun-tenun dari daerah lainnya di Aceh dapat kita angkat juga sebagai khazanah kekayaan budaya Aceh,” kata alumnus Manajemen Fakultas Ekonomi Unsyiah ini.
Dalam even DGTSA yang didukung oleh Owner Piyoh Design dan para pecinta songket Aceh tersebut, pihaknya mendapat banyak dukungan. Selain Songket Nyakmu di Gampong Siem, juga ada model-model fashion show dari mahasiswi FKIP PKK Unsyiah.
Selain DGTSA 2015, mereka juga mengadakan kegiatan Saweu Pengrajin. Hal tersebut dilakukan untuk menyimak dari dekat perjuangan para pengrajin meneruskan pusaka budaya kerajinan Aceh. Dalam hal ini tenun songket Aceh.
“Saweu Pengrajin yang sudah diadakan adalah menyambangi dua tempat sentra pengrajin di Gampong Siem dan Gampong Miruek Taman, keduanya berada di Kecamatan Darussalam, Aceh Besar,” katanya.
Di Miruek Taman, kata Azhar, pengrajinnya bernama Jasmani, nama usahanya Songket Kreasi Jasmani. Jumlah pengrajin yang aktif saat ini sekitar lima orang lagi. Jasmani tersebut dulunya menjadi murid di Songket Nyakmu Gampong Siem.
“Kreasi songketnya tidak hanya motif yang dari tenun tetapi juga banyak kreasi hasil kreativitas Ibu Jasmani sendiri. Kalau kondisi pengrajin di Siem jumlah pengrajin tinggal sekitar lima orang juga. Salah satunya Ibu Dahlia, yang juga satu-satunya pengrajin yang masih menguasai pembuatan motif,” ujar Azhar.
Dalam memperkenalkan kembali songket Aceh kepada dunia, ILSA juga menggandeng komunitas-komunitas lainnya di Aceh. Seperti Gaminong Blogger, Agam Inong Aceh, Sobat Budaya Aceh, Forum Lingkar Pena (FLP) Aceh, I Love Aceh dan teman-teman media yang bisa membantu menyiarkan tentang keberadaan pengrajin tenun songket Aceh.
Langkah ke depan, kata Azhar, mereka ingin mengumpulkan informasi tentang tenun songket Aceh, baik dari kekayaan motif maupun sejarah dan latar belakangnya. Songket Aceh, lanjut Azhar, kabarnya juga terdapat sentra di daerah lainnya. Anggota FLP ini mengakui, sejauh ini mendengar kabar adanya tenun songket Aceh di daerah Pidie, Lamno dan Aceh Tamiang.
“Jadi, dengan adanya komunitas ini kami berharap bisa saling berbagi mengenai keberadaan para pengrajin di daerah Aceh lainnya. Kami berharap di masa mendatang dapat terlibat untuk memperkenalkan tenun songket dari daerah lainnya di provinsi Aceh sebagai khazanah kerajinan budaya Aceh,” ujar anggota Polyglot Indonesia Chapter Aceh 2014 ini. [zr]
[Tulisan ini sudah dimuat di www.portalsatu.com]
Komentar
Posting Komentar