Sepenggal Kisah Tentang Ie Beuna di Aceh

26 Desember 2004, tanggal ini begitu populer di Aceh. Betapa tidak, tanggal tersebut merupakan sejarah pilu tentang ie beuna yang tidak mungkin bisa dilupakan oleh masyarakat Aceh pada umumnya meskipun 11 tahun silam sudah berlalu.

Saya berasal dan berdomisili di Kecamatan Leupung Kabupaten Aceh Besar, saat ie beuna minggu pagi itu menyapa daratan, saya sedang berada di Ajun Banda Aceh mengunjungi salah satu kakak saya yang berdomisili disana.

Minggu pagi itu, hendaknya saya ingin menyeruput kopi bersama, baru saja ingin duduk tiba-tiba bumi tergoncang kuat dan bergoyang-goyang. Saya bersama kakak saling berhadap pandangan dan tetap berdiam diri didalam toko dua lantai itu. Ternyata guncangan 9,2 Skala Richter itu berlangsung lama dan sangat kuat yang membuat kami segera keluar dari dalam toko.

Gempa pun reda, maksud hati ingin membersihkan pecahan gelas dan kaca yang berserakan didalam toko. Selang beberapa menit kemudian, berhenti sebuah labi-labi (angkutan umum) dari arah Leupung menitip kue buatan ibu saya yang selalu menaruh di warung kopi sebelah toko kakak saya tempati.

Saat itu dalam hati kami, Leupung aman dan tidak terjadi gempa kuat seperti yang kami rasakan tadi. Namun, tak lama kemudian saya mendengar suara orang dari luar berteriak kencang ‘Ie laot ka diek, ie laot ka diek, (air laut naik, air laut naik)’’. Wajah panik pun terlihat pada semua orang yang berada disana. Kami yang terheran-heran pun melongoh keluar dan memandang ke arah yang dimaksud. Saya tak menyangka didepan mata saya sekarang ombak pekat kecoklatan dari arah Ulhe Lhe Banda Aceh yang mengejar ingin menerkam siapa saja yang ada didepannya.

Tanpa ada yang suruh, saya dan kakak juga ikut berlari sekuat tenaga dan melompat apa saja yang ada didepan. Saya teringat saat itu ada pagar yang cukup tinggi saya manjat lalu melompat. Saat itu usia saya masih duduk di bangku kelas 6 Madrasah Islamiyah Negeri (MIN).

Sayangnya, arah yang kami lari untuk menyelamatkan diri merupakan jalan buntu, belakangnya hanya ada hamparan sawah membentang luas tak ada pohon untuk menyelamatkan diri. Sementara ie beuna sudah menari-nari dibelakang yang jaraknya begitu dekat. Saat itu ada seorang bapak-bapak yang mendobrak pintu sebuah toko berlantai dua dan semua yang masuk ke jalan buntu tersebut dialihkan menuju lantai dua, saya dan kakak termasuk didalamnya.

Dari lantai dua, mata saya terbelalak ke bawah, yang semulanya daratan kini menjadi lautan mini dengan warna coklat. Saya menyaksikan orang dalam mobil terapung dan terombang ambing air yang tidak sempat tertolong. Sebagian yang masih hidup keluar dari arah jendela mobil. Saat itu mobil yang berjalan menggunakan mesin tak berlaku dan berjalan umpama perahu.

Airnya memang tidak setinggi desa pesisir pantai tetapi kekuatan air tersebut bisa membuat tumbang siapa saja. Masih melihat ke bawah, mayat-mayat mulai terapung disana sini. Saya diatas hanya berkomat kamit membaca tasbih  dan gemetar, tak ada satupun orang yang kami kenal. Makin lama mayat semakin ramai dikumpulkan oleh para relawan dadakan, berbagai macam model mayat saat itu, ada yang terdampar diatas mobil, ada yang terperongoh kepalanya kedalam parit dan ada mayat bayi mungil yang berbalut kertas plastik tersenyum manis.

Hanya berselang beberapa menit mayat sudah mulai berjejeran dibawah dan airpun mulai surut, juga sudah tercium bau yang menyeruak. Saat itu tak terlihat satupun yang melakukan fardhu kifayah kepada mayat, semuanya nafsi-nafsi dan mulai mencari keluarga sendiri ditambah sambungan komunikasi,  listrik dan jembatan terputus total.

Sedikitpun tak terpikirkan dalam benak saya, bahwa hal serupa juga terjadi ditempat asal saya, Leupung Aceh Besar. Minggu siang itu pula kami yang berada daerah kota mendapat kabar duka dan isak tangis dari warga Leupung yang berhasil selamat dari musibah itu. Ia berkata “Hana peu ingat le u gampong, hana sapeu na lee, abeh dum rata (Tidak usah ingat lagi, di Leupung tidak ada apa-apa lagi semuanya sudah rata dengan tanah)” kata salah satu warga Leupung yang berhasil tembus kearah kota dengan jalan kaki dan mengarungi sungai.

Mendengar hal itu, saya, kakak, dan dua abang saya yang juga berkumpul di kota, berniat untuk pulang dan ingin menyaksikan bagaimana kondisi di Leupung dan menjemput keluarga, namun sayangnya hari itu akses kesana macet total, pepohonan tumbang ke badan jalan dan beberapa jembatan putus total.

Hari minggu itupun sudah hampir gelap, matahari hendak terbenam, tetapi kondisi kota Banda Aceh yang saya lihat bagaikan kapal pecah, kami yang selamatpun dianjurkan ke tempat evakuasi bencana di kawasan Lampeunerut Aceh Besar dan bermalam disana.
***
Saya anak ke sembilan dari sembilan bersaudara. Orangtua saya asal Lhoknga dan Leupung. Seluruh keluarga besar saya saat peristiwa gempa dan ie beuna tersebut berada di Lhoknga dan Leupung yang hari itu dihantam gelombang mahadahsyat yang hanya menyisakan mayat terlentang dan puing-puing bekas serta reruntuhan bangunan.

Hal ini kami saksikan setelah dua hari berlalu tsunami disaat akses ke Leupung jalan kaki dengan durasi waktu yang terbilang lama. Saat itu kami mulai mencari jenazah para keluarga namun hanya beberapa yang masih dikenali sementara ribuan mayat lainnya tanpa identitas tergeletak diatas tanah menunggu bantuan.

Benar-benar rata dengan tanah, Leupung yang dulunya sebuah pemukiman yang lebih kurang terdiri dari 12.000 jiwa saat itu bagaikan tanah lapang yang bisa sepak terjang pertandingan bola. Hanya menyisakan puing-puing bekas yang didalamnya para mayat bercampur aduk dengan sampah, sangat pilu dan rasa begitu menjerit ketika menyaksikan kekuasaan Allah SWT itu. Bagi saya, inilah yang dikatakan ‘Kun Fayakun’ (Apabila Allah berkata jadi, maka jadilah sesuatu itu).

Peristiwa besar itu telah merenggut sebagian besar nyawa keluarga saya dari pihak ibu dan pihak bapak, ibu saya yang terakhir kalinya menitip kue pagi itu dan kakak kandung menjadi korban ganas ie beuna minggu pagi, sementara ayah saya meninggal dunia beberapa tahun setelahnya.


Sebelas tahun kemudian, padang luas yang penuh puing-puing itu bagaikan disulap begitu apik. Kini jalan mulus dan menyuguhkan pemandangan yang begitu memesona. Dari bencana besar itu kami banyak belajar, kami belajar agar lebih taat, kami belajar untuk tetap kuat, kami belajar ikhlas untuk melepaskan, kami belajar sabar untuk menghadapi, dan semua itu dikemudian hari berharap mendapat ridha Allah SWT dan menjadi pribadi yang lebih baik karena setiap peristiwa dan cobaan dari Allah SWT itu ada hikmahnya. [zr]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dekorasi Unik Pekan Kreatif Banda Aceh

Mengenal Dayah Gurah Peukan Bada

Masjid Jamik Unsyiah Kebanggaan Mahasiswa